PENERAPAN “NE BIS IN IDEM” PADA PERADILAN INDONESIA

Penulis

  • Finsensius Samara Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
  • Eusebius Samudra Putra Seran Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
  • Yoachina Da Cunha Fernandes Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
  • Amelia Leni B. Cermeta Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
  • Ariance Stefani Agnes Olin Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
  • David Amaral Da Silva Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
  • Marcelinus R. Wayan Universitas Katolik Widya Mandira Kupang

Kata Kunci:

Ne Bis In Idem, Perkara Yang Sama

Abstrak

Asas nebis in idem adalah suatu larangan pengajuan gugatan untuk yang kedua kalinya dalam perkara yang sama baik mengenai subyeknya, objeknya dan alasannya telah diputus oleh pengadilan yang sama. Dalam hukum pidana nasional di Indonesia, asas ne bis in idem ini dapat kita temui dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yaitu seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Asas nebis in idem ini juga dapat ditemukan dalam Pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Kekuatan sesuatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya. Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama; bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama; lagipula dimajukan oleh dan terhadap pihak-pihak yang sama di dalam hubungan yang sama pula”. Dalam penelitian ini penulis melakukan studi kasus terhadap 5 kasus Ne Bis In Idem di Peradilan di Indonesia: Kasus Bibit-Chandra, Kasus Prita Mulyasari, Kasus Antasari Azhar, Kasus Akil Mochtar, dan Kasus Budi Gunawan. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif dengan analisis secara kualitatif.

Unduhan

Diterbitkan

2024-07-04