PENYELESAIAN SENGKETA PENGUASAAN ATAS TANAH MILIK ORANG LAIN YANG TIDAK BESERTIPIKAT (Studi Kasus Putusan Nomor :700 PK/Pdt/2021)

Penulis

  • Ahmad Indra Kurniawan Universitas Lampung
  • Hamzah Universitas Lampung

Kata Kunci:

Milik Orang Lain, Penguasaan Atas Tanah, Tidak Bersertipikat

Abstrak

Kepastian hukum hak-hak atas tanah, khususnya menyangkut kepemilikan tanah dan penguasaannya akan memberikan kejelasan mengenai orang atau badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah, maupun kepastian mengenai letak, batas -batas, luasnya dan sebagainya. Kasus pertanahan yang terjadi di daerah Korpri, Kecamatan Sukarame Bandar Lampung sampai pada tahap Peninjuan Kembali (PK) misalnya perkara Nomor: 700.PK/Pdt/2021.  Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana penyelesaian sengketa penguasaan atas tanah milik orang lain tidak bersertipikat menurut peraturan perundang-undangan dan bagaimana akibat hukum putusan Nomor :700 PK/Pdt/2021 atas sengketa tanah penguasaan atas milik orang lain yang tidak besertipikat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penyelesaian sengketa penguasaan atas tanah milik orang lain tidak bersertipikat menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan melawan hukum yang telah melanggar kausa yang halal pada Pasal 1320 KUHPdt. Apabila dikaji berdasarkan putusan Nomor :700 PK/Pdt/2021 terkait dengan Peninjuan Kembali (PK), maka Termohon PK dapat dikenakan Pasal 1365 KUHPdt yaitu perbuatan melawan hukum dengan telah melanggar peraturan perundang-undangan karena menempati dan menguasai suatu objek tanah yang bukan hak miliknya melainkan hak orang lain. Pasal 1365 KUHPdt yang sama rumusannya dengan Pasal 1401 KUHPerdata yang menentukan apabila suatu perbuatan mengakibatkan kerugian pada orang lain akibat kesalahannya maka wajib untuk menggantikan kerugian. Dengan demikian penyelesaian sengketa penguasaan atas tanah milik orang lain tidak bersertipikat menurut peraturan perundang-undangan bertentangan dengan UUPA, KUHPdt ataupun aturan lain terkait dengan hak milik atas tanah. Akibat hukum putusan Nomor :700 PK/Pdt/2021 atas sengketa tanah penguasaan atas milik orang lain yang tidak besertipikat yaitu mengganti kerugian, hal ini dikarenakan para pelaku sudah mengakibatkan kerugian kepada pemilik tanah dan sesuai dengan aturan dan substansi Pasal 1365 KUHPdt menyatakan bahwa setiap kerugian yang diakibatkan pada orang lain harus mengganti kerugian sesuai dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan dan sesuai pertimbangan hakim. Berdasarkan putusan PK bahwa hak milik yang diberikan kepada tergugat, sehingga memiliki akibat hukumnya yaitu para pihak penggugat PK mengosongkan dan menyerahkan objek sengketa kepada tergugat.

Criminal liability is the most important thing in the application of law because it will be related to whether or not someone can be held accountable for their actions. Like a murder case that in principle meets the elements of Article 338 of the Criminal Code, but if the perpetrator of the crime suffers from paranoid schizophrenia, which is a mental illness, of course he cannot be held accountable under criminal law in accordance with the provisions of Article 44 of the Criminal Code. However, Indonesia recognizes a double track system, namely that perpetrators of criminal acts who are indicated to have paranoid schizophrenia disorders can be subject to criminal sanctions and can also be subject to sanctions. Therefore, for perpetrators of murder who suffer from paranoid schizophrenia, in giving sanctions, they must consider 3 principles of law enforcement, namely certainty, justice and benefit. The problems that will be studied in this study are how is criminal liability for paranoid schizophrenia sufferers in the criminal law system in Indonesia? How is the concept of applying criminal law to cases of murder of paranoid schizophrenia sufferers? The research used is normative and empirical legal research, namely legal research that uses primary and secondary data sources, by interpreting the law by taking samples. The analysis used is deductive and concluded descriptively quantitatively. The results of this study indicate that criminal liability for paranoid schizophrenia sufferers in the Indonesian legal system recognizes a double track system, namely that perpetrators of criminal acts who are indicated to have paranoid schizophrenia disorders can be subject to criminal sanctions and can also be subject to Action sanctions. If in the trial process the psychiatric expert in the results of his examination states that he is not normal/has a mental disorder and the Judge is convinced that the defendant's condition cannot be held accountable because it is included in the excuse reasons, then the Judge considers the provisions of Article 44 Paragraph (1) of the Criminal Code and decides to apply Action sanctions in the form of Rehabilitation, if otherwise then Article 44 cannot be applied. So that the actions of the defendant with paranoid schizophrenia must be declared guilty and sentenced to a sentence commensurate with his actions, even though he already has a letter from the Mental Hospital. The Concept of Applying Criminal Law to Murder Cases of Paranoid Schizophrenia Sufferers that in law enforcement, of course, the main thing in applying the law must pay attention to 3 values, namely certainty, justice, and benefit. These three values in the enforcement of criminal law against the Murder Case of a Paranoid Schizophrenic Sufferer, are substantive and must be given sanctions because they fulfill the elements and so as not to cause an imbalance in the application of the law. Furthermore, in the concept of criminal responsibility, of course, whether or not a person can be subject to criminal penalties must be based on expert opinion or existing evidence.

Unduhan

Diterbitkan

2024-11-29