PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA TERHADAP PENERAPAN SANKSI CAMBUK DALAM QANUN JINAYAT DI ACEH

Penulis

  • M Yusuf Universitas Sriwijaya
  • Mada Apriandi Universitas Sriwijaya
  • Artha Febriansyah Universitas Sriwijaya

Kata Kunci:

Hak Asasi Manusia, Hukuman Cambuk, Qanun Jinayat, Deklarasi Kairo 1990

Abstrak

Provinsi Aceh menempati posisi istimewa dengan status otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Berdasarkan kewenangan tersebut, Aceh berhak merumuskan Qanun, yaitu peraturan daerah yang mengintegrasikan norma-norma hukum Islam dengan adat dan nilai-nilai lokal masyarakat. Kajian ini berfokus pada penerapan hukuman cambuk sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), di tengah perdebatan konseptual antara penerapan syariat Islam dan prinsip-prinsip HAM universal. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan doktrin hukum melalui analisis kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh memiliki dasar legitimasi hukum dan sosial, karena dianggap mencerminkan identitas religius serta nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Meskipun demikian, bentuk sanksi ini tetap menimbulkan kontroversi dan kritik dari sudut pandang HAM yang menekankan penghormatan terhadap martabat manusia. Selain itu, penelitian ini juga mengacu pada Deklarasi Kairo Tahun 1990 tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam, yang memberikan kerangka etis dan filosofis mengenai penghormatan terhadap martabat dan keadilan manusia dalam perspektif Islam. Sebagai kesimpulan, hukuman cambuk dapat dipandang sebagai bentuk kompromi normatif antara penegakan hukum Islam dan nilai-nilai universal HAM, dengan catatan bahwa pelaksanaannya harus selalu menjaga kehormatan serta martabat kemanusiaan.

The Aceh Province possesses a unique form of special autonomous authority, as outlined in Law No. 11 of 2006 on the Governance of Aceh. Under this autonomy, Aceh has the right to enact Qanun, or regional regulations, that incorporate Islamic legal principles harmonized with local cultural traditions. This study explores the implementation of caning punishments as stipulated in Qanun Aceh No. 6 of 2014 on Jinayat Law, analyzing it through the lens of Human Rights (HR) and the ongoing tension between the enforcement of Islamic criminal law and the universal standards of human rights. Adopting a normative juridical approach combined with a statutory analysis, this research conducts a qualitative examination of pertinent legal instruments and doctrines. The findings indicate that the practice of caning in Aceh carries both legal and sociological legitimacy, reflecting the province’s religious identity and deeply rooted communal values. However, it remains a subject of contention in the broader human rights discourse. Furthermore, the study incorporates the Cairo Declaration on Human Rights in Islam (1990) as a complementary framework that upholds the principles of human dignity and justice from an Islamic perspective. Ultimately, the paper concludes that caning serves as a nuanced intersection between the enforcement of Islamic law and human rights ideals, emphasizing that its implementation should always safeguard the inherent dignity of every human being.

Unduhan

Diterbitkan

2025-10-30