KORBAN KEJAHATAN SIBER (CYBERCRIME): PERLINDUNGAN DAN KENDALA DALAM PENEGAKAN HUKUM
Kata Kunci:
Perlindungan Hukum, Korban, Kejahatan Siber (Cybercrime), Penegakan Hukum, UU ITEAbstrak
The rapid advancement of science and technology, particularly in information and communication technology, has brought significant changes to human civilization, but it has also given rise to negative impacts in the form of cybercrime. This type of crime exploits technology and internet networks as tools, taking various forms such as data theft, online fraud, and system hacking. In Indonesia, cybercrime is regulated under Law Number 1 of 2024, which amends Law Number 11 of 2008 on Electronic Information and Transactions (ITE Law). This study aims to analyze the legal protection for cybercrime victims and to identify the obstacles and solutions in its law enforcement. The research employs a normative juridical method with a conceptual, statutory, and case approach. Data sources are obtained from primary and secondary legal materials, which are then analyzed qualitatively. The findings reveal that legal protection for cybercrime victims in Indonesia is regulated under the ITE Law, the Witness and Victim Protection Law, and the Personal Data Protection Law. As a state governed by law, Indonesia is obligated to protect its citizens from harmful acts, including cybercrime. Cybercrime law enforcement applies the principle of lex specialis derogat legi generali, where the ITE Law takes precedence over the Criminal Code (KUHP). However, several obstacles hinder effective cybercrime law enforcement, including: (1) legal provisions that lag behind technological advancements, creating legal loopholes; (2) limited human resources among law enforcement officers in digital forensics; (3) lack of international cooperation in handling cross-border crimes; (4) the sophistication of perpetrators’ methods in concealing digital traces; (5) low digital literacy among the public; and (6) limited technological infrastructure in rural areas. Strategic solutions include: (1) legal updates and reforms that are adaptive to technology; (2) enhanced training and certification for law enforcement personnel; (3) strengthening bilateral and multilateral cooperation; (4) development of equitable digital forensic infrastructure; and (5) increasing public education and digital literacy. Through a comprehensive and collaborative approach, cybercrime law enforcement is expected to be more effective in providing legal protection and justice for victims.
Â
Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah membawa perubahan signifikan dalam peradaban manusia, namun juga memunculkan dampak negatif berupa kejahatan siber (cybercrime). Kejahatan ini memanfaatkan teknologi dan jaringan internet sebagai sarana, dengan berbagai bentuk seperti pencurian data, penipuan online, dan peretasan sistem. Di Indonesia, cybercrime diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum terhadap korban cybercrime dan mengidentifikasi faktor penghambat serta solusi dalam penegakan hukumnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual, perundang-undangan, dan kasus. Sumber data diperoleh dari bahan hukum primer dan sekunder, yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap korban cybercrime di Indonesia telah diatur dalam UU ITE, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Hukum di Indonesia, sebagai negara hukum, wajib melindungi warganya dari perbuatan yang merugikan, termasuk cybercrime. Penegakan hukum cybercrime menerapkan asas lex specialis derogat legi generali, di mana UU ITE diutamakan dibandingkan KUHP. Namun, terdapat beberapa faktor penghambat dalam penegakan hukum cybercrime, antara lain: (1) aturan hukum yang tertinggal dari perkembangan teknologi, sehingga menciptakan kekosongan hukum; (2) keterbatasan sumber daya manusia aparat penegak hukum dalam bidang forensik digital; (3) kurangnya kerja sama internasional dalam penanganan kejahatan lintas batas; (4) kecanggihan modus operandi pelaku yang menyembunyikan jejak digital; (5) rendahnya literasi digital masyarakat; dan (6) keterbatasan infrastruktur teknologi di daerah. Sebagai solusi strategis, diperlukan: (1) pembaruan dan reformasi hukum yang adaptif terhadap teknologi; (2) peningkatan pelatihan dan sertifikasi bagi aparat penegak hukum; (3) penguatan kerja sama bilateral dan multilateral; (4) pengembangan infrastruktur forensik digital yang merata; dan (5) peningkatan edukasi dan literasi digital bagi masyarakat. Dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, diharapkan penegakan hukum terhadap cybercrime dapat lebih efektif dalam memberikan perlindungan hukum dan keadilan bagi korban.