PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITOR ATAS ADANYA PERBUATAN PENYALAHGUNAAN KEADAAN DALAM PERJANJIAN UTANG PIUTANG

Penulis

  • Komariah Universitas Nasional
  • Basuki Rekso Wibowo Universitas Nasional

Kata Kunci:

Perlindungan Hukum, Debitor, Penyalahgunaan Keadaan Perjanjian Utang Piutang

Abstrak

Saat ini kecenderungan makin memperlihatkan bahwa banyak perjanjian di dalam transaksi utang piutang yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang di antara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara di pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu fomulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan. Ketidakseimbangan dalam perjanjian utang piutang tersebut berpotensi terjadinya perbuatan penyalahgunaan keadaan. Adanya penyalahgunaan keadaan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian, khususnya bagi pihak Debitor. Penelitian ini menggunakan metode normatif dan dengan rumusan masalah yaitu: 1). Bagaimana pengaturan larangan perbuatan penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian utang piutang di Indonesia?; 2. Bagaimana penerapan perlindungan hukum terhadap debitor atas adanya perbuatan penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian utang piutang?. Serta menggunakan Teori Negara Hukum, Teori Keadilan dan Teori Perjanjian. Didapatkan hasil bahwa pengaturan larangan penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian utang piutang di Indonesia tidak secara eksplisit diatur dalam undang-undang, melainkan melalui yurisprudensi dan KUHPerdata (Pasal 1321). Perjanjian yang mengandung penyalahgunaan keadaan dapat dibatalkan oleh pihak yang lemah. Namun, perlindungan hukum terhadap debitor belum sepenuhnya terwujud karena kurangnya pengaturan eksplisit dan kebebasan hakim dalam memutus perkara. Pemerintah dan DPR perlu membuat undang-undang tentang larangan penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian utang piutang untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi debitor serta Kementerian Dalam Negeri perlu mensosialisasikan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Membuat Kuasa Mutlak kepada masyarakat melalui kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat dan akademisi fakultas hukum untuk mengurangi potensi sengketa utang piutang.

Currently, there is a growing trend that many agreements in debt transactions are not made through a balanced negotiation process between the parties. but rather that such agreements are entered into by one party preparing standard terms and conditions on a pre-printed agreement form and then presenting it to the other party for approval, with virtually no freedom for the other party to negotiate the terms and conditions presented. The imbalance in these debt agreements has the potential to lead to abuse of circumstances. The existence of such abuse of circumstances has the potential to cause losses, especially for the debtor. This study uses a normative method and poses the following research questions: 1) How is the prohibition of abuse of circumstances regulated in debt agreements in Indonesia?; 2) How is legal protection applied to debtors in cases of abuse of circumstances in debt agreements? The study also employs the Theory of the Rule of Law, the Theory of Justice, and the Theory of Contracts. The results show that the prohibition of abuse of circumstances in debt agreements in Indonesia is not explicitly regulated in law, but rather through jurisprudence and the Civil Code (Article 1321). Agreements containing abuse of circumstances may be rescinded by the weaker party. However, legal protection for debtors is not yet fully realized due to the lack of explicit regulations and the discretion of judges in adjudicating cases. The government and the House of Representatives need to enact a law on the prohibition of abuse of circumstances in debt agreements to provide legal certainty and protection for debtors, and the Ministry of Home Affairs needs to disseminate Minister of Home Affairs Instruction No. 14 of 1982 on the Prohibition of Granting Absolute Power of Attorney to the public through collaboration with non-governmental organizations and law faculty academics to reduce the potential for debt disputes.

Unduhan

Diterbitkan

2025-08-30