PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP PECANDU NARKOTIKA : ANTARA PEMIDANAAN DAN REHABILITASI

Penulis

  • Imelia Situmeang Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen
  • Martono Anggusti Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen

Kata Kunci:

Restorative Justice, Pecandu Narkotika, Rehabilitasi, Hukum Progresif, Pemidanaan

Abstrak

Studi ini menganalisis pengaturan dan implementasi Restorative Justice (RJ) sebagai paradigma dalam penanganan pecandu narkotika di Indonesia, mengkaji sejauh mana sistem hukum telah bergeser dari pendekatan retributif (pemidanaan) menuju rehabilitatif (pemulihan). Isu sentralnya adalah ketidakkonsistenan antara kerangka hukum yang mengamanatkan rehabilitasi dengan praktik penegakan hukum di lapangan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (Statutory Approach), konseptual (Conceptual Approach), dan kasus (Case Approach), menelaah UU No. 35 Tahun 2009, Perpol No. 8 Tahun 2021, SEMA, serta putusan pengadilan. Secara normatif, UU No. 35 Tahun 2009 secara eksplisit mewajibkan rehabilitasi bagi pecandu (Pasal 54 dan 103), didukung oleh pedoman diskresi penyelesaian perkara melalui RJ dari Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini menempatkan pecandu sebagai korban yang membutuhkan pemulihan, sejalan dengan prinsip hukum progresif. Namun, temuan di lapangan, termasuk data kasus di PN Medan (2023–2024) yang menunjukkan 78% pecandu dijatuhi pidana penjara berbanding 22% rehabilitasi, memperlihatkan bahwa paradigma penalistik masih mendominasi praktik peradilan. Kesenjangan implementasi ini disebabkan oleh minimnya pemahaman aparat terhadap RJ, belum optimalnya mekanisme asesmen terpadu, keterbatasan fasilitas rehabilitasi, stigma sosial, dan ketidaksamaan persepsi antar lembaga penegak hukum. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun RJ memiliki dasar hukum yang kuat, efektivitasnya sangat bergantung pada penguatan kapasitas SDM, sinergi antar lembaga (BNN, Polri, Kejaksaan, Pengadilan), dan peningkatan infrastruktur rehabilitasi. Transformasi menuju keadilan restoratif merupakan langkah krusial untuk mewujudkan keadilan yang manusiawi dan efektif dalam menanggulangi masalah narkotika

This study analyzes the regulation and implementation of Restorative Justice (RJ) as a paradigm in dealing with drug addicts in Indonesia, by examining the extent to which the legal system has shifted from a retributive (punitive) approach to a rehabilitative (restorative) approach. The main problem is the inconsistency between the legal framework that requires rehabilitation and law enforcement practices in the field. This study uses a normative juridical method with a statutory approach, a conceptual approach, and a case approach, analyzing Law No. 35 of 2009, Perpol No. 8 of 2021, SEMA, and court decisions. Normatively, Law No. 35 of 2009 explicitly requires rehabilitation for drug addicts (Articles 54 and 103), supported by guidelines on case settlement discretion through RJ from the police and prosecutors. This places drug addicts as victims who need recovery, in accordance with progressive legal principles.  However, findings in the field, including case data from the Medan District Court (2023–2024) which shows that 78% of addicts are sentenced to prison compared to 22% who undergo rehabilitation, indicate that the penalistic paradigm still dominates judicial practice. This implementation gap is caused by a lack of understanding of RJ among officials, suboptimal integrated assessment mechanisms, limited rehabilitation facilities, social stigma, and differing perceptions among law enforcement agencies. This study concludes that although RJ has a strong legal basis, its effectiveness is highly dependent on strengthening human resource capacity, synergy between institutions (BNN, Polri, Kejaksaan, Pengadilan), and improving rehabilitation infrastructure. The transformation towards restorative justice is a crucial step in realizing humane and effective justice in tackling drug problems.

Unduhan

Diterbitkan

2025-11-14